Gaya Kepemimpinan merupakan cara pemimpin dalam menggerakkan dan mengarahkan para bawahannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang terarah dalam mendukung pencapaian tujuan. Gaya kepemimpinan yang digunakan seorang pemimpin tergantung pada kapasitas kepribadian, situasi yang dihadapinya dan pengalamannya. Gaya tersebut tidak ada yang bersifat tetap namun hanya bersifat sementara, sehingga kadang sangat sulit dinilai seorang pemimpin tersebut menggunakan salah satu dari gaya kepemimpinan yang mana. Faktor yang sering mempengaruhi gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin adalah kepribadian pemimpin itu sendiri. Kepribadian yang bersifat alamiah dan tumbuh sejak lahir, akan membawa sifat kepribadian tersendiri dari seorang pemimpin itu sendiri. Sifat kepribadian yang ada sejak lahir tersebut, tidak dapat berubah dengan sendiri. Perubahan tersebut membutuhkan proses dan jangkan waktu yang cukup lama.
Sebelumnya baca dulu Apa itu Kepemimpinan?
Gaya kepemimpinan tersebut yaitu
1. Kepemimpinan Otokratis/Diktatorial (autocratic leadership)
Davis dan Newstrom (1991), mendefiniskan pemimpin autokratik yaitu memusatkan kuasa dan pengambilan kepuasan bagi dirinya sendiri. Kelemahan gaya ini yang utama adalah bahwa orang-orang tidak menyukainya, terutama apabila mencapai suatu titik yang menimbulkan rasa takut dan keputusasaan. Stoner (1986), pemimpin yang otokratis menganggap bahwa organisasi adalah miliknya sendiri, mendahulukan tujuan pribadi dari pada tujuan organisasi, karyawan dianggap hanya sebagai alat untuk menjalankan organisasinya. Pemimpin tipe ini tidak suka menerima kritik, saran, pendapat dan pengambilan keputusan dari orang-orang yang di dalam maupun luar organisasi. Pemimpin otokratis memiliki sifat egois yang tinggi, sehingga menyebabkan dia memiliki kekuasaan yang mutlak dalam kehidupan organisasi.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin otoriter selalu bersikap keras kepada bawahan , menuntut bawahan untuk disiplin dan taat sesuai peraturannya, serta menggunakan pendekatan kepada bawahan bersifat memaksa dan menghukum. Dengan adanya pemimpin yang otoriter dalam suatu organisasi, maka tujuan untuk mensejahterakan karyawan dan memberikan kenyamanan bagi karyawan tidaklah mungkin dapat terjadi. Bagi organisasi maupun negara yang memiliki pemimpin otoriter kurang disukai oleh karyawan ataupun masyarakat dari suatu negara. Tipe pemimpin otoriter bukan tipe pemimpin yang ideal dan efektif bagi kelangsungan hidup organisasi ataupun negara. Jadi, pemimpin autokratik merupakan pemimpin yang berorientasi pada kepentingan dan kekuasaan dari pemimpin itu sendiri.
2. Kepemimpinan Militeristis (militerisme leadership)
Kepemimpinan ini banyak dijumpai pada organisasi-organisasi militer atau organisasi sistem komando. Pemimpin ini sering melimpahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada pejabat yang dibawahnya atau kepada para bawahannya. Dalam hal pengambilan keputusan, pemimpin militeristis dapat melibatkan para bawahannya hanya pada situasi tertentu, namun keputusan-keputusan yang bersifat strategis atau penting hanya melibatkan para pejabat yang setingkat (sama level) atau setingkat lebih tinggi dari pemimpin tersebut.
Pemimpin militeristis menuntut para bawahannya untuk selalu disiplin, taat, setia, memiliki kebersamaan dan mengikuti sesuai peraturan-peraturan yang telah ditetapkan organisasi. Pemimpin tipe ini terlalu menjaga wibawa dan jabatannya, sehingga pemimpin ini ingin selalu dihormati dan disegani oleh para bawahannya, yang mengakibatkan kekakuan dan kurangnya komunikasi dengan para bawahannya.
3. Kepemimpinan Paternalistik (paternalistic leadership)
Pemimpin ini menganggap bahwa melalui peran kepemimpinannya akan memberikan harapan kepada para pengikutnya, dimana pemimpin tersebut diharapkan menjadi “bapak” bagi para pengikutnya. Pemimpin paternalistik lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga semua bawahannya akan diperhatikan secara merata dan diperlakukan seadil mungkin. Pemimpin dalam berhubungan dengan para bawahannya bersifat informal, dimana tidak memiliki batasan tertentu antara pemimpin dan bawahannya. Hubungan yang bersifat informal ini dilandasi oleh pandangan pemimpin bahwa para bawahannya belum dewasa dalam cara berpikir dan berperilaku sehingga diperlukan pembimbingan dan pengarahan secara berkelanjutan dari pemimpinnya. Akibat dari pemimpin menganggap bawahannya belum dewasa, maka para bawahannya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan memberikan pendapat. Para bawahan juga tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan kreatifitasnya.
Para bawahan yang memiliki ketergantungan dan harapan yang tinggi terhadap pemimpinnya, maka pemimpin itu sendiri merasa lebih tahu akan segala sesuatunya. Kepemimpinan paternalistik lebih menonjolkan keberadaan dari pemimpin itu sendiri sebagai pelindung, pengayom, penasehat, pengajar, atau pembimbing bagi para bawahannya. Kepemimpinan paternalistik masih banyak terdapat di lingkungan masyarakat tradisional, misalnya pemimpin-pemimpin untuk suku tertentu yang berada di daerah terpencil yang masih memegang teguh kebiasaan tradisi atau adat istiadat. Pemimpin ini terpilih karena para pengikutnya menilai pemimpin tersebut adalah orang yang di-tua-kan, dihormati, diangkat berdasarkan golongan/kasta, dan/atau berdasarkan keturunan dari seorang pemimpin suku, sehingga tongkat estafet kepempinannya dilanjutkan oleh keluarganya.
4. Kepemimpinan Partisipatif (participatice leadership)
Davis dan Newstrom (1991), mendefiniskan pemimpin partisipatif yaitu pemimpin yang mendesentralisasi wewenang. Para pegawai memperoleh informasi dari pemimpin tentang kondisi yang mempengaruhi pekerjaan mereka dan didorong untuk mengungkapkan gagasan dan mengajukan saran. Inti dari kepemimpinan partisipatif adalah kepemimpinan yang berusaha untuk melibatkan, mengikutsertakan, memberdayakan semua anggota organisasi di dalam mendukung peran dan tanggung jawab seorang pemimpin. Pemimpin partisipatif beranggapan bahwa dia bisa sukses dalam memimpin, bila melibatkan dan di dukung oleh para anggota atau pengikutnya. Oleh karenanya, pemimpin yang partisipatif akan terus melibatkan para anggotanya untuk bekerja bersama-sama dengan pemimpin tersebut.
5. Kepemimpinan (Laissez Faire)
Pemimpin yang Laissez Faire beranggapan bahwa kehidupan organisasi akan berjalan dengan sendirinya melalui peran, tugas dan tanggung jawab para anggota organisasi. Pemimpin tidak selalu memberi perintah yang sedetailnya kepada bawahannya, sebab bawahannya dianggap sudah dewasa dan mampu menjalankan tugasnya sesuai tuntutan, tujuan dan sasaran organisasi. Nilai hubungan antara atasan dan bawahan yang selalu dianut pemimpin Laissez Faire adalah nilai yang didasarkan kepada saling mempercayai. Dengan nilai ini membuat pemimpin yang Laissez Faire beranggapan bahwa anggotanya akan selalu taat kepada peraturan-peraturan organisasi, bawahan tidak perlu diawasi seketat mungkin dalam kesehariannya bekerja, dan memperlakukan bawah an sebagai rekan sekerja (tim kerja yang solid).
Pemimpin yang Laissez Faire juga kurang dalam menyusun struktur dan meng evaluasi tugas para bawahannya. Pemimpin ini lebih merasa nyaman dalam hal pendelegasian wewenang kepada bawahannya, pengambilan keputusan diserahkan kepada karyawan yang dianggap lebih mampu dan dipercayainya, serta tindakan untuk inovatif akan tugas-tugas diserahkan kepada para bawahan. Bila berpegangan dengan nilai dan prinsip organisasi, maka pemimpin yang Laissez Faire dianggap pemimpin yang kurang efektif dan kurang bertanggung jawab atas perannya sebagai pemimpin. Sebab, hal ini dapat dilihat bahwa pimpinan Laissez Faire dipandang sebagai akibat dari adanya struktur dan jenjang hirarki organisasi saja serta amanah jabatan yang diberikan kepada pemimpin tersebut.
Baca Juga : 3 Tingkat Kepemimpinan dan Etika Kepemimpinan
Pemimpin Laissez Faire tidak bisa dikatakan sebagai pemimpin yang ideal dan efektif bagi suatu organisasi ataupun negara, sebab akan menyebabkan pemimpin yang bersifat “permisif dan pasif” yaitu pemimpin yang membiarkan para anggota organisasi boleh saja bekerja dan bertindak mengambil keputusan sesuai dengan kemampuan, keyakinan dan kemauan dalam pekerjaaan mereka, serta membiarkan organisasi berjalan sendirinya tanpa banyak berperan aktif dalam menjalankan organisasi. Yang terpenting bagi pemimpin tersebut adalah pekerjaan bisa selesai sesuai standar kualitas dan waktu yang telah ditentukan, tujuan dan sasaran organisasi dapat tercapai, serta kepentingan bersama dapat terjaga dengan baik.
6. Kepemimpinan Bebas-Kendali (free-rein leadership)
Pemimpin sebagian besar bergantung pada kelompok untuk menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya sendiri. Anggota kelompok melatih dan menyediakan motivasi bagi diri mereka sendiri. Pemimpin hanya memainkan peran kecil, serta hanya memikirkan terlebih dulu akan kebutuhannya sendiri. Jenis kepemimpinan seperti ini kurang efektif di dalam menjalankan organisasi yang menghadapi persaingan.
7. Kepemimpinan Karismatis (charismatic leadership)
Hampir tidak semua literatur-literatur yang ada dari pendapat para pakar kepemimpinan dan manajemen berhasil mengungkapkan penyebab seorang pemimpin memiliki kriteria kharisma. Inti dari literatur tersebut hanya bisa diungkapkan, bahwa pemimpin yang berkarisma memiliki daya tarik yang tinggi, sehingga pemimpin tersebut memperoleh pengikut yang jumlahnya cukup banyak. Daya tarik tersebut tidak bisa diukur dari sudut apapun, baik itu dari segi kemapanan, fisik tubuh, usia yang matang, pengetahuan atau apapun yang bisa dinilai dari pemimpin. Griffin (2004) mengartikan karisma adalah bentuk daya tarik interpersonal yang mengilhami dukungan dan penerimaan. Kepemimpinan karismatis adalah konsep yang mengasumsikan bahwa karisma adalah suatu karakteristik individual dari pemimpin.
Karisma adalah bentuk daya tarik interpersonal yang mengilhami dukungan dan penerimaan. Pertama kali yang memperkenal teori kepemimpinan karismatis adalah Robert House pada tahun 1977. Teorinya menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin yang karismatis cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi, keyakinan-keyakinan dan cita-cita yang kuat, serta kebutuhan yang kuat untuk mempengaruhi orang lain. Mereka juga cenderung mengomunikasian ekspektasi-ekspektasi tinggi menyangkut kinerja bawahan dan menampakkan keyakinan pada bawahan.
Mengutip tulisan Robbins (1996), karakteristik utama dari pemimpin karismatik adalah:
a. Percaya Diri. Mereka benar-benar percaya diri akan penilaian dan kemampuan mereka;
b. Suatu visi. Ini merupakan tujuan ideal yang mengajukan suatu masa depan yang lebih baik dari pada status quo. Makin besar disparitas (simpangan) antara tujuan ideal ini dan status quo, makin besar kemungkinan bahwa pengikut akan menghubungkan hubungan visi yang luar biasa itu pada seorang pemimpin;
c. Kemampuan untuk mengungkapkan visi dengan mudah. Mereka mampu mmperjelas dan menyatakan visi dalam kata-kata yang dapat dipahami orang lain. Artikulasi ini menunjukkan suatu pemahaman akan kebutuhan para pengikut dan karenanya, bertindak sebagai suatu kekuatan motivasi;
d. Keyakinan kuat mengenai visi itu. Pemimpin karismatik berkomitmen kuat, dan bersedia mengambil resiko pribadi yang tinggi, mengeluarkan biaya tinggi, dan melibatkan diri dalam pengorbanan untuk mencapai visi itu;
e. Perilaku yang di luar aturan. Mereka dengan karisma ikut serta dalam perilaku yang dipahami sebagai baru, tidak konvensional, dan berlawanan dengan norma-norma. Bila berhasil, perilaku ini menimbulkan kejutan dan kekaguman para pengikut;
f. Dipahami sebagai seorang agen perubahan. Pemimpin karismatik dipahami sebagai agen perubahan yang radikal bukannya sebagai pengasuh status quo;
g. Kepekaan lingkungan. Pemimpin itu mampu membuat penilaian yang realistis terhadap kendala lingkungan dan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan.
Tidak semua organisasi ataupun negara bisa memiliki atau menjumpai pemimpin yang karismatis. Dengan kata lain, pemimpin yang karismatis masih tergolong pemimpin yang belum semua dimiliki oleh pemimpin-pemimpin yang ada, bahkan jumlahnya masih tergolong sedikit. Namun, kehadiran seorang pemimpin yang karismatis masih didambakan oleh semua pihak yang ingin bekerja, mengabdi dan berkarya bagi mereka.
8. Kepemimpinan Demokratis (democratic leadership)
Tipe kepemimpinan demokratis beranggapan bahwa manusia adalah makhluk sempurna dan termulia di dunia, sehingga para anggota organisasi perlu ditempatkan sebagai aset sumber daya organisasi yang harus diperhatikan, dijaga, diberdayakan, disejahterakan, dilindungi serta diangkat harkat dan martabatnya. Pemimpin demokratis akan menjalankan tugas, peran dan tanggung jawabnya dengan baik sebagai pemimpin. Pemimpin demokratis akan menyusun struktur, hirarki dan jenjang karir yang jelas bagi para anggota organisasinya. Disamping itu, pemimpin akan membangun fasilitas, sarana dan prasarana yang baik guna mendukung pelaksanaan pekerjaan. Rencana, visi, misi, tujuan, sasaran, ketentuan-ketentuan, dan nilai-nilai organisasi disusun dan disampaikan dengan baik oleh pemimpin untuk memudahkan dalam menjalani kehidupan organisasi.
Dessler (2006) menjelaskan visi sebagai pernyataan umum tentang tujuan yang direncanakan, yang merupakan sumber perasaan emosional anggota organisasi, sementara misi adalah mengomunikasikan siapa perusahaan tersebut, apa yang dilakukannya, dan dimana dia dapat memimpin. Pemimpin demokratis akan fokus pada prinsip efektifitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya organisasi dan akan melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi kepada bawahannya. Pemimpin demokratis akan merasa rugi dan kehilangan apabila para bawahannya mengalami sakit, kecelakaan, keluar dari organisasi, sehingga pemimpin tersebut akan terus berupaya untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama tim yang baik dengan para bawahannya. Seorang pemimpin yang demokratis menyadari bahwa peranan para anggota organisasinya memiliki peranan yang paling penting dalam menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, sehingga pemimpin tersebut berupaya untuk mengajari dan mengembangkan daya inovasi dan kreatifitas dari para bawahannya.
Pemimpin jenis ini memiliki sebuah konsep “learning organization”, yaitu berupaya untuk selalu meningkatkan kemampuan dan kapasitas sumber daya manusia dari para anggota organisasi melalui proses pembelajaran secara terus menerus (berkelanjutan), misalnya mengikutsertakan para anggota organisasi mengikuti pelatihan, seminar, studi banding, program out-bond, dan proses pembelajaran lainnya. Tujuan ini dilakukan pemimpin untuk menjadikan para anggota organisasinya untuk lebih terampil, kreatif, sukses, mandiri, mampu berdaya saing, mampu kerjasama dalam tim, yang semuanya itu akan berdampak positif bagi tercapainya tujuan dan sasaran organisasi secara umum. Bila terdapat kesalahan yang dilakukan oleh para bawahannya, pemimpin demokratis tidak akan langsung menghukum (memberikan sanksi) bawahannya melainkan akan bertindak melalui pendekatan pembimbingan dengan cara mendidik sehingga bawahan tersebut dapat mengkoreksi kesalahannya dan memperbaikinya sesuai dengan yang seharusnya benar. Pemimpin demokratis akan berusaha untuk mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari para anggota organisasi. Atau dengan kata lain, pemimpin tidak akan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendasar dari para bawahannya dan lebih lanjut akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya bagi para bawahannya, seperti kebutuhan fisik, sosial, dan spiritual.
Sifat yang paling menonjol dari pemimpin demokratis adalah melibatkan para anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan, serta senang menerima saran, pendapat, dan kritikan dari bawahannya demi kemajuan dan keberhasilan tujuan organisasi. Pemimpin tersebut akan mengijinkan ide atau prakarsa dari para bawahannya untuk bisa dijalankan atau diterapkan dalam organisasi, meskipun ide tersebut belum tentu memberikan hasil terbaik, namun tetap ada upaya dari pemimpin untuk lebih menghargai ide atau prakarsa dari para bawahannya.
Selain itu, pemimpin yang demokratis akan merasa senang melihat para bawahannya yang telah menunjukkan kemampuan kerja yang baik (memiliki prestasi tinggi) dan dengan segera memberi penghargaan kepada bawahan tersebut berupa kata-kata pujian, pemberian piagam penghargaan, kenaikan gaji, kenaikan pangkat atau jabatan, memberikan liburan wisata, memberikan umroh atau naik haji, dan lain sebagainya. Penghargaan tersebut diberikan guna memacu semangat (kinerja) bawahan tersebut untuk lebih meningkatkan produktivitas kerjanya. Pandangan dari kalangan ilmuwan maupun pendapat dari para pakar menyapakati bahwa pemimpin yang demokratis merupakan pemimpin yang paling ideal dan efektif bagi suatu organisasi ataupun negara.
Pemimpin demokratis juga dipandang sebagai pemimpin terbaik, dihormati dan disegani yang memiliki kelebihan-kelebihan yang mampu menjalankan dan memajukan kehidupan organisasi. Oleh karena itu, setiap organisasi maupun sebuah negara berkeinginan untuk memiliki seorang pemimpin yang demokratis, sebab pemimpin ini memiliki nilai-nilai yang dianut untuk memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi. Pemimpin yang demokratis dikatakan pemimpin yang sudah memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ). Pemimpin harus mensinerjikan ketiga kecerdasan yang dimilikinya tersebut menjadi kekuatan dan modal yang baik bagi pemimpin itu sendiri sehingga mampu menjalani peran dan tanggungjawabnya dan memberi nilai bagi semua kehidupan.
Baca Juga:
_ Apa itu Kepemimpinan
– Jenis dan Keterampilan Pemimpin
– Apakah Pemimpin Itu?
Daftar pustaka : Tambunan, Toman S. 2015. “Pemimpin dan Kepemimpinan“. Yogyakarta: Graha Ilmu.
0 Comments